Oleh: Muhammad Nur Kelrey (founder mOne | Malukuone).
NEMUKABAR.COM – Teknologi telah mengubah wajah komunikasi manusia. Kita dapat berbicara lintas benua dalam hitungan detik, menyiarkan pendapat ke ribuan orang tanpa perlu bertatap muka. Namun, di tengah kemajuan luar biasa itu, rasa kemanusiaan dalam berkomunikasi semakin memudar.
Manusia kini lebih terhubung secara digital daripada secara emosional. Komunikasi modern mengandalkan layar, emoji, dan notifikasi—simbol yang menggantikan ekspresi manusia. Dalam ruang digital, kehangatan tatapan dan kejujuran nada suara digantikan oleh tanda jempol atau ikon hati. Kita semakin sering berkomunikasi, tetapi semakin jarang benar-benar memahami.
Fenomena ini menunjukkan bahwa komunikasi telah bergeser dari relasi manusiawi menjadi aktivitas mekanis. Tujuannya bukan lagi untuk membangun hubungan, tetapi untuk memenuhi kebutuhan instan: respons cepat, validasi sosial, dan kepuasan sesaat. Akibatnya, komunikasi kehilangan unsur empati dan kedekatan emosional.
Dampak sosialnya terasa nyata. Banyak orang kini merasa kesepian meskipun dikelilingi ribuan “teman” daring. Hubungan antarmanusia menjadi dangkal, sementara perdebatan di ruang digital kian panas dan tak berujung. Kita menjadi generasi yang mampu berbicara tanpa benar-benar mendengar.
Untuk mengembalikan nilai humanis dalam komunikasi, kita perlu merevitalisasi makna dialog. Komunikasi bukan sekadar bertukar pesan, tetapi juga berbagi rasa dan makna. Dalam setiap interaksi, harus ada ruang untuk memahami dan menghargai perbedaan.
Nilai humanis menuntut kehadiran empati. Ia memandang komunikasi bukan sebagai alat dominasi, tetapi sebagai jembatan kemanusiaan. Dengan empati, manusia dapat berbicara tanpa melukai, menegur tanpa merendahkan, dan menasihati tanpa menggurui.
Pendidikan komunikasi di era modern harus menanamkan kesadaran ini sejak dini. Anak-anak perlu diajarkan bahwa di balik setiap pesan yang mereka kirim, ada manusia lain yang memiliki perasaan dan martabat. Media massa juga harus menjadi teladan, dengan menyajikan komunikasi publik yang santun dan berimbang.
Teknologi memang tak bisa dihentikan, tetapi nilai-nilai manusiawi bisa dijaga. Kita boleh hidup di dunia digital, tetapi kita tak boleh kehilangan sisi manusia. Komunikasi modern seharusnya menjadi alat untuk memperluas kasih, bukan memperlebar jarak.
Di tengah derasnya kemajuan teknologi, tugas terbesar kita bukan sekadar menciptakan inovasi baru, melainkan mengembalikan kehangatan lama: kejujuran dalam kata, empati dalam dialog, dan rasa hormat dalam setiap interaksi.











