Budaya Komunikasi Instan dan Hilangnya Kesantunan Sosial
OPINI

Budaya Komunikasi Instan dan Hilangnya Kesantunan Sosial

×

Budaya Komunikasi Instan dan Hilangnya Kesantunan Sosial

Sebarkan artikel ini
Muhammad Nur Kelrey, (Founder mOne | MalukuOne)

Oleh: Muhammad Nur Kelrey (Founder mOne | MalukuOne)

NEMUKABARA.COM – Di zaman ketika pesan dapat terkirim dalam sepersekian detik, dunia seolah semakin terkoneksi. Teknologi menjanjikan efisiensi, memperpendek jarak, dan membuka ruang komunikasi tanpa batas. Namun di balik segala kemudahan itu, muncul satu gejala sosial yang semakin nyata: kesantunan dalam berkomunikasi perlahan hilang dari kebiasaan kita.

Media sosial, yang pada awalnya dirancang untuk mempertemukan manusia lintas tempat dan waktu, kini berubah menjadi arena kontestasi emosi. Di sana, kecepatan menggantikan pertimbangan, dan keberanian mengetik menggantikan kebijaksanaan berpikir. Banyak orang terbiasa menulis apa pun yang terlintas tanpa menyaring niat maupun dampaknya terhadap orang lain.

Kita hidup dalam budaya komunikasi instan. Segala hal ingin segera dikatakan, dibalas, dan disebarkan. Akibatnya, makna percakapan semakin dangkal. Komentar kasar dianggap biasa, perdebatan tanpa dasar menjadi hiburan, dan sikap menghargai perbedaan semakin sulit ditemukan. Dalam situasi seperti ini, kesantunan sosial—yang dulu menjadi fondasi kuat budaya Indonesia—seolah terpinggirkan.

Kesantunan bukan sekadar bentuk sopan santun dalam berbahasa, tetapi juga cermin penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dalam budaya Nusantara, berbicara selalu diiringi pertimbangan moral: kapan bicara, kepada siapa, dan dengan cara bagaimana. Kini, pertimbangan itu hilang ditelan kecepatan teknologi.

Di dunia maya, batas antara ruang pribadi dan publik menjadi kabur. Banyak orang merasa bebas mengekspresikan pendapat tanpa memikirkan etika. Unggahan yang menyinggung, cemoohan terhadap tokoh publik, hingga penyebaran hoaks menjadi fenomena harian. Celakanya, hal semacam ini sering dibenarkan dengan alasan “kebebasan berekspresi”. Padahal kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kekacauan komunikasi.

Pendidikan tentang etika berkomunikasi harus kembali ditegakkan. Literasi digital tidak cukup hanya soal keamanan data dan privasi, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial di ruang digital. Kita perlu mengajarkan generasi muda bahwa berbicara di dunia maya sama pentingnya dengan berbicara di dunia nyata—keduanya membutuhkan empati dan kesantunan.

Teknologi akan terus berkembang, namun nilai-nilai manusiawi harus tetap menjadi jangkar. Komunikasi instan memang tak terhindarkan, tetapi kesantunan sosial adalah pilihan. Jika kita ingin teknologi benar-benar memperkuat hubungan antarmanusia, maka kita harus mulai dari hal sederhana: menulis dengan empati, berbicara dengan hormat, dan mendengar dengan hati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *