Antara Kedaulatan dan Kemanusiaan: Dilema Bantuan Asing Saat
OPINI

Antara Kedaulatan dan Kemanusiaan: Dilema Bantuan Asing Saat Bencana

×

Antara Kedaulatan dan Kemanusiaan: Dilema Bantuan Asing Saat Bencana

Sebarkan artikel ini
Pemerintah Kota Medan menerima bantuan berupa 30 ton beras dari Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) yang ditujukan bagi korban banjir di Gedung PKK Medan. (dok.Pemkot Medan)

NEMUKABAR.COM – Perdebatan mengenai bantuan luar negeri hampir selalu bersinggungan dengan isu paling sensitif dalam kehidupan berbangsa, yakni kedaulatan. Dalam sebagian pandangan, menerima bantuan kerap dimaknai sebagai pengakuan atas ketidakmampuan, bahkan dianggap membuka ruang intervensi kepentingan asing.

Pandangan tersebut berakar pada pengalaman sejarah panjang tentang campur tangan pihak luar. Akibatnya, diskursus yang semestinya bersifat teknis dan kemanusiaan sering berubah menjadi ajang simbolik tentang siapa yang paling tegas dan siapa yang paling nasionalis.

Di sisi lain, terdapat pemahaman yang lebih pragmatis bahwa kehadiran negara tidak diukur dari kemampuan berdiri sendiri, melainkan dari kapasitas mengelola seluruh sumber daya—termasuk bantuan internasional—dalam satu komando yang tertib dan akuntabel.

Dalam situasi bencana besar, ukuran kehadiran negara bukan terletak pada retorika, melainkan pada kecepatan distribusi air bersih, layanan kesehatan, listrik darurat, akses evakuasi, dan perlindungan kelompok rentan.

Ketegangan sering muncul ketika narasi “kita mampu” berbenturan dengan realitas lapangan. Banjir, gempa, dan longsor memutus rantai pasok serta membuat kebutuhan dasar menjadi persoalan hitungan jam. Di posko pengungsian, warga tidak memperdebatkan kedaulatan, melainkan menunggu bantuan yang nyata.

Ketidakjelasan komunikasi antara pusat dan daerah kerap memperkeruh keadaan. Penolakan bantuan dipersepsikan sebagai ketidakpekaan, sementara penerimaan bantuan dituding sebagai pelemahan kedaulatan. Pada akhirnya, korban bencana menjadi pihak yang paling dirugikan.

Bantuan internasional juga tidak lepas dari kompleksitas birokrasi—mulai dari kepabeanan, izin personel, hingga distribusi. Tanpa protokol yang siap, bantuan mudah tersendat. Namun bencana tidak menunggu kelengkapan administrasi.

Pengalaman tsunami Aceh 2004 memberikan pelajaran penting. Pemerintah Indonesia saat itu membuka akses bantuan internasional pada fase darurat, dengan tetap menetapkan batas waktu dan kendali operasi. Keputusan tersebut mempercepat penyelamatan nyawa tanpa mengorbankan kedaulatan.

Aceh menunjukkan bahwa menerima bantuan tidak identik dengan kehilangan kendali. Justru kedaulatan tampak ketika negara mampu menetapkan aturan, komando, dan pengawasan secara tegas.

Pada akhirnya, dilema ini bermuara pada kepemimpinan. Dalam bencana besar, yang paling mematikan bukan hanya alam, tetapi keterlambatan keputusan dan komando yang terfragmentasi. Kemanusiaan dan kedaulatan sejatinya bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua nilai yang dapat berjalan berdampingan ketika negara bertindak cepat, jernih, dan berpihak pada keselamatan rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *