Khotibul Umam (Nurfalah) Meninjau Pendapat PB SEMMI dalam
OPINI

Khotibul Umam (Nurfalah) Meninjau Pendapat PB SEMMI dalam RDPU RUU KUHAP di DPR RI

×

Khotibul Umam (Nurfalah) Meninjau Pendapat PB SEMMI dalam RDPU RUU KUHAP di DPR RI

Sebarkan artikel ini

NEMUKABAR.COM – Perjalanan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan kembali menuai problematik. Pasalnya, masih dinilai kurang dalam melibatkan partisipasi publik pada proses pembahasan RUU KUHAP (yang dimaksud RUU KUHAP adalah draf pembicaraan TK II Pengambilan Keputusan Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bersumber dari website DPR RI).

Praktiknya, yang hadir dalam RDPU merupakan perwakilan atau dengan kata lain menggunakan sistem keterwakilan yang perlu ditelaah kembali apakah keterwakilan tersebut betul-betul telah menerima aspirasi dari berbagai lembaga-lembaga di bawah naungannya. Salah satu organisasi/komunitas akademik yang terlibat dalam RDPU RUU KUHAP adalah Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI).

Khotibul Umam merasa tidak ada ruang keterbukaan yang disediakan oleh PB SEMMI dalam membahas RUU KUHAP, sehingga sah-sah saja apabila ia meninjau pendapat PB SEMMI dalam risalah RDPU Komisi III DPR RI pada Rabu, 18 Juni 2025 secara argumentatif.

Analisa Khotibul umam, dikhususkan pada pendapat PB SEMMI yang pertama yakni PB SEMMI merekomendasikan untuk formulasikan ulang terhadap Pasal 198 ayat (2) RUU KUHAP yang rumusan awalnya adalah “keterangan saksi atau ahli, yang tidak mau disumpah atau mengucap janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah. Tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim”.

Pendapat PB SEMMI dalam RDPU RUU KUHAP

Pijakan dasar yang melarbelakangi PB SEMMI dalam merumuskan ulang Pasal 198 ayat (2) RUU KUHAP yakni untuk menjaga keseimbangan antara nilai keadilan, kepastian hukum dan perlindungan hak. Maka, rumusan yang ditawarkan oleh PB SEMMI seperti berbunyi “keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau tidak mengucapkan janji, tidak dapat digunakan sebagai bukti yang sah, namun dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim, hanya apabila didukung oleh alat bukti yang sah yang lainnya yang memperkuat kebenaran keterangan tersebut”.

Menurut PB SEMMI, hal ini demi menghindari putusan-putusan yang bersifat diskresi atau adanya keleluasaan terlalu meluas dalam putusan hakim, yang jika tidak didasari dengan alat bukti-alat bukti pendukung yang lainnya dikhawatirkan terjadi penyimpangan dalam putusan tersebut, sehingga perlu keterangan ahli disesuaikan atau sejajar dan memiliki korelasi dengan alat bukti lainnya. Maka oleh sebab itu kami (PB SEMMI) mengusulkan rekomendasi ulang perumusan ulang ayat tersebut, yaitu menerima dengan catatan.

Tampaknya pendapat PB SEMMI ini telah diakomodir dalam Pasal 211 RUU KUHAP yang berbunyi “Dalam hal Saksi atau Ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (12), pemeriksaan terhadap Saksi atau Ahli tetap dilakukan dan keterangan Saksi atau Ahli tersebut bukan merupakan alat bukti, namun sebagai hal yang memperkuat keyakinan Hakim”.

Tinjauan Khotibul Umam Terhadap Pendapat PB SEMMI

Mengawali analisa, Khotibul Umam menukil salah satu adagium yang berbunyi primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis (perkataan adalah hal utama yang harus diperiksa, guna menghindari kesalahan dalam pengertian maupun kekeliruan dalam penerapan hukum).

Apabila ditinjau perbedaan antar Pasal 192 ayat (2) RUU KUHAP yang telah ada, dengan rumusan yang ditawarkan oleh PB SEMMI yaitu mengenai perkesesuaian antara keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah tersebut dengan alat bukti yang sah lainnya.

Cara main pembuktian yang diusulkan oleh PB SEMMI justru menimbulkan kekacauan dalam sistem pembuktian. Sistem pembuktian yang digunakan dalam perkara pidana adalah sistem pembuktian yang negatif atau biasa dikenal dengan negative wettelijk bewijs theorie. Menurut teori ini, hakim boleh menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan suatu perbuatan pidana yang didakwakan apabila telah memenuhi alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang ditambah dengan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa (Albert Aries, 2022: 15-16).

Dengan demikian, dapat dipetik suatu kedalaman makna bahwa pembuktian dalam perkara pidana yaitu hakim harus terlebih dahulu mendapatkan bukti yang sah, kemudian ditambah dengan keyakinannya. Kedalaman makna ini tidak boleh dibolak-balik seperti dengan mencari keyakinan dulu barulah dicari alat buktinya.

Berdasarkan pendapat PB SEMMI di atas, ketika seorang saksi ataupun ahli yang tidak disumpah atau tidak mengucapkan janji, tidak dapat digunakan sebagai bukti yang sah, namun dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim dengan dipersesuaikan dengan alat bukti sah lainnya.

Pertanyaan hukum (rechtsvragen) selanjutnya ialah bagaimana mungkin suatu keterangan saksi atau ahli yang bukan merupakan bukti yang sah, akan tetapi dapat dijadikan bahan pertimbangan hakim?

Mengenai kewajiban bersumpah sebagai syarat sah berlakunya saksi sebagai alat bukti didasarkan pada old maxim in judicio non creditor nisi juratis yang berarti dalam pengadilan, tidak ada yang bisa dipercaya kecuali mereka yang disumpah. Begitupun secara teori, dalam perkara pidana yang dinilai oleh hakim adalah bukti yang diajukan adalah bukti yang sah, kemudian disusul oleh keyakinan.

Jelas-jelas, ketika bukti yang diajukan bukan merupakan bukti yang sah, maka sudah barang tentu pula tidak bisa dikualifikasikan sebagai bukti yang dapat meyakinkan. Maka, usulan tersebut merupakan pendapat yang sesat menyesatkan (dwaling). Dengan demikian, Pasal 198 ayat (2) KUHAP maupun usulan PB SEMMI (sebagaimana telah diakomodir dalam Pasal 221 RUU KUHAP) sama-sama tidak dapat dibenarkan.

Kualifikasi Alat Bukti

Masih dalam analisa Khotibul Umam, bahwa yang dijadikan tajuk alasan atas usulan/rumusan yang ditawarkan oleh PB SEMMI yakni untuk menjaga keseimbangan antara nilai keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak.

Perihal kepastian hukum (rechts zekerheid) dalam lanskap hukum pidana yakni tertulis (lege scripta), tidak dapat berlaku surut (lege praevia), rumusan delik dalam hukum pidana harus jelas (lege certa), dan rumusan pidana harus dimaknai secara tegas tanpa analogi (lege stricta).

Berdasarkan kepastian hukum dalam hukum pidana tersebut, jenis alat bukti secara jelas dan tegas tertuang dalam Pasal 235 RUU KUHAP terdiri dari: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) keterangan terdakwa; (e) barang bukti; (f) bukti elektronik; (g) pengamatan hakim; dan (h) segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian pada pemeriksaan di sidang pengadilan sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum.

Terhadap saksi atau ahli yang tidak disumpah tersebut, maka yang menjadi pertanyaan hukum (rechtsvragen) selanjutnya ialah saksi atau ahli yang tidak disumpah itu dikualifikasikan pada jenis alat bukti yang mana?

Tidak mungkin keterangan saksi atau ahli yang tidak sah tersebut dikualifikasikan ke dalam keterangan saksi atau keterangan ahli. Begitupun tidak mungkin dikualifikasikan ke dalam jenis bukti huruf h (segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian pada pemeriksaan di sidang pengadilan sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum) karena tidak melawan hukum bertalian dengan kerakter hukum pembuktian exclusionary rules yaitu pengecualian untuk alat bukti yang ilegal.

Exclusionary rules ini merupakan akibat hukum dari suatu alat bukti yang diperoleh secara tidak sah atau melawan hukum (unlawful legal evidence). Ketika saksi atau ahli yang tidak disumpah, maka tidak dapat dikualifikan ke dalam jenis alat bukti, dan hal itu bukanlah bukti, sehingga tidak dapat dipersesuaikan dengan alat bukti lainnya.

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, menurut sistem pembuktian hukum pidana yakni hakim harus menilai terlebih dahulu alat bukti sah, lalu mengkonfrontasi dengan keyakinannya. Maka, apabila saksi atau ahli yang tidak disumpah bukanlah alat bukti yang sah atau ketika alat bukti tersebut bukan merupakan bukti yang sah, maka tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk dipersesuaikan dengan alat bukti sah lainnya, karena persesuaian alat bukti itu haruslah alat bukti sah, lebih-lebih dalam mendapatkan keyakinan hakim.

In criminalibus probationes debent esse luce clariores atau in criminal cases, the proofs ought to be clearer than light — Dalam perkara pidana bukti-bukti haruslah lebih terang dari pada cahaya. (Khotibul Umam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *