Jangan Samakan Loyalitas dengan Kepatuhan Bisu. SEMMI Haru
OPINI

Jangan Samakan Loyalitas dengan Kepatuhan Bisu. SEMMI Harus Kembali ke Jalan Etik

×

Jangan Samakan Loyalitas dengan Kepatuhan Bisu. SEMMI Harus Kembali ke Jalan Etik

Sebarkan artikel ini

Oleh: Aldona Vanda Anggraeni, Ketua SEMMI Komisariat UAD Cabang Yogyakarta

Pernyataan Ketua Umum PW SEMMI Riau yang menyerukan agar kader “menjaga marwah organisasi” dengan mendukung Ketua Umum PB SEMMI hingga akhir masa jabatan terdengar manis di permukaan, tapi sejatinya menyimpan persoalan mendasar: kita sedang dihadapkan pada upaya mematikan daya kritis kader di bawah dalih menjaga stabilitas.

Sebagai Ketua SEMMI Komisariat UAD Cabang Yogyakarta, saya melihat narasi semacam ini bukan sekadar pembelaan terhadap figur, tetapi bentuk pembenaran atas praktik yang justru berpotensi merusak independensi gerakan mahasiswa Muslim Indonesia. Kita mesti jujur bahwa rangkap jabatan Ketua Umum PB SEMMI sebagai Staf Khusus Menteri P2MI bukan sekadar “pencapaian kader,” tetapi masalah serius tentang etika dan integritas organisasi.

SEMMI bukan lembaga pemerintah, bukan pula wadah pencetak pejabat. SEMMI adalah organisasi perjuangan mahasiswa yang berangkat dari semangat moral Islam dan independensi gerakan. Ketika pucuk pimpinan organisasi berada dalam lingkaran kekuasaan, maka garis independensi itu kabur — antara suara rakyat dan kepentingan pemerintah menjadi sulit dibedakan.
Bagaimana mungkin organisasi mahasiswa bisa lantang mengkritik kebijakan negara bila pemimpinnya justru menjadi bagian dari struktur negara itu sendiri?

Saya tidak menolak gagasan bahwa kader SEMMI boleh berkiprah di ruang strategis pemerintahan. Tapi jabatan publik tidak bisa disatukan dengan posisi pimpinan organisasi mahasiswa. Itu bukan bentuk kontribusi, itu bentuk konflik kepentingan.
Apalagi, jabatan Ketua Umum PB SEMMI bukan jabatan pribadi, tapi mandat kolektif kader dari seluruh Indonesia. Mandat itu seharusnya dijaga, bukan dibawa masuk ke arena politik birokratik.

Pernyataan PW SEMMI Riau yang menyebut desakan mundur “tergesa-gesa” adalah logika yang mengabaikan prinsip moral. Sebab tidak ada waktu yang tepat untuk menegakkan kebenaran — yang tepat adalah ketika penyimpangan itu terjadi.

Menunggu kongres hanya untuk menegur pelanggaran etik ibarat membiarkan luka membusuk karena takut sakit saat mengobatinya. Kalau pemimpin organisasi mahasiswa bisa duduk di kursi kekuasaan tanpa diminta pertanggungjawaban, lalu untuk apa organisasi ini masih menyebut dirinya sebagai gerakan moral?

Marwah organisasi tidak akan rusak karena kritik dari kader, justru rusak ketika kader dilarang berpikir. Kata “marwah” terlalu mulia untuk dijadikan tameng melindungi kekuasaan. Menjaga marwah bukan berarti membungkam perbedaan, tapi menegakkan nilai kejujuran dan tanggung jawab moral di tengah perbedaan itu.

Saya ingin mengingatkan bahwa “SEMMI lahir dari semangat melawan penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan“, bukan untuk menjadi alat kekuasaan baru. Jika kader di daerah mulai bersuara, itu bukan tanda perpecahan — itu tanda masih ada nyawa kritis yang hidup dalam tubuh organisasi. Justru yang berbahaya adalah ketika semua diam, ketika semua tunduk atas nama loyalitas.

Kita bisa menghormati Ketua Umum PB SEMMI sebagai pribadi, tapi tetap berhak mengoreksi jabatannya secara organisatoris. Keduanya tidak bisa disamakan. Ini bukan urusan suka atau tidak suka, tapi soal menjaga garis batas antara “gerakan moral dan kompromi politik”.

Dan saya percaya, SEMMI terlalu besar untuk dibungkam oleh kepentingan sesaat. Kalau kita benar-benar ingin menjaga marwah organisasi, maka kita harus berani bersuara — meski suara itu harus melawan arus kekuasaan.

Kritik bukan tanda perpecahan, tapi bentuk kasih sayang terhadap organisasi yang sedang kehilangan arah. Karena dalam sejarah gerakan mahasiswa, yang membuat organisasi tumbuh bukanlah pujian terhadap pemimpinnya, tapi keberanian kadernya untuk berkata “ini salah.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *