Penulis : Aswan Kelian (Praktisi Hukum/Mantan Aktivis HMI).
Nemukabar.com – Dua abad lalu, ekonom Thomas Robert Malthus sudah melemparkan peringatan: pertumbuhan manusia bergerak lebih cepat dibanding produksi pangan. Kini, di tengah perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan konflik geopolitik yang mengguncang rantai pasok, ramalan itu terasa semakin nyata.
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk besar, ikut merasakan dampaknya. Ketergantungan pada beras dan gandum impor membuat kita sering “tersandera” dinamika global. Begitu harga pangan dunia bergejolak, efeknya langsung terasa di kantong masyarakat.
Gejolak Harga Pangan: Bukti Ketergantungan yang Membahayakan
Data terbaru menunjukkan harga beras premium nasional pada Agustus 2025 menyentuh Rp 16.247 per kg, naik hampir 4% hanya dalam tiga bulan. Bahkan pada 7 Agustus 2025, harga sempat menembus Rp 16.265/kg, jauh di atas HET, dengan lonjakan tertinggi terjadi di wilayah timur Indonesia.
Di level global, harga gandum per 5 September 2025 mencapai US$ 506 per bushel, meski turun dibanding setahun lalu, volatilitasnya tetap tinggi. Sementara itu, Indeks Harga Pangan FAO Agustus 2025 berada di level 130,1 poin—tertinggi dalam dua tahun terakhir, didorong kenaikan harga daging, gula, dan minyak nabati.
Kondisi ini mempertegas satu hal: pangan pokok kita rentan sekali terhadap guncangan pasar global. Pertanyaannya, sampai kapan kita mau bergantung pada impor?
Sagu: Pangan Lokal yang Terlupakan
Indonesia sejatinya punya “harta karun” pangan yang kerap diabaikan: sagu. Dengan potensi lahan sekitar 5,5 juta hektar, ironisnya baru 5% yang dimanfaatkan. Padahal, sagu memiliki keunggulan ekologis—tumbuh alami di lahan basah, tahan perubahan iklim, dan bisa dipanen berulang.
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) di Maluku adalah salah satu daerah dengan potensi terbesar. Lahan sagu di wilayah ini mencapai 35.426 hektar, menjadikannya sentra sagu terbesar di Maluku setelah Riau dan Papua Tengah. Sayangnya, hingga kini pengelolaannya masih terkendala teknologi sederhana, pasar terbatas, minim investasi, serta kurangnya perhatian serius pemerintah pusat.
Hilirisasi: Jalan Tengah Menuju Kemandirian
Langkah Bupati Fachri Husni Alkatiri untuk mendorong hilirisasi sagu di SBT patut diapresiasi. Program ini berupaya mengubah paradigma lama—dari sagu yang hanya ditebang lalu dikonsumsi tradisional, menjadi komoditas bernilai tambah tinggi melalui pengolahan modern.
Hilirisasi bukan sekadar jargon. Ia mencakup:
- Pemilihan lokasi pengembangan yang tepat.
- Riset dan penerapan teknologi pengolahan yang efisien.
- Sistem distribusi yang terintegrasi.
- Pengembangan pasar domestik maupun ekspor.
- Pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama.
Lebih jauh, hilirisasi sagu sudah masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) RPJMN 2025–2029, bersama singkong dan ubi jalar. Artinya, ada dukungan kebijakan untuk menjadikan sagu bukan hanya pangan alternatif, melainkan pilar ketahanan pangan nasional.
Momentum yang Tidak Boleh Dilewatkan
Bagi saya, hilirisasi sagu di SBT bukan sekadar proyek daerah, tapi momentum penting bagi Indonesia. Di saat harga beras melambung dan gandum global bergejolak, sagu bisa menjadi penopang kedaulatan pangan nusantara.
Jika dikelola serius, dampaknya bukan hanya soal ketahanan pangan:
- Ekonomi lokal bangkit: lapangan kerja terbuka, pendapatan petani meningkat.
- Investasi masuk: sektor pangan berbasis kearifan lokal jadi daya tarik baru.
- Diversifikasi pangan: masyarakat punya pilihan karbohidrat yang sehat dan ramah lingkungan.
- Identitas terjaga: sagu kembali ke posisi penting sebagai pangan asli nusantara.
Namun, semua ini tidak akan terwujud tanpa komitmen jangka panjang. Pemerintah pusat harus memberi dukungan penuh—dari regulasi, anggaran, riset, hingga pembangunan pasar. Investor dan akademisi perlu dilibatkan, sementara masyarakat lokal harus menjadi aktor utama, bukan sekadar penonton.
Dari Pinggiran ke Panggung Nasional
Sagu pernah berjaya sebelum era 1970-an sebagai pangan pokok alternatif. Kini, saat dunia kembali dihantui krisis pangan, sudah saatnya kita belajar dari sejarah. Hilirisasi sagu bukan sekadar nostalgia, melainkan jalan realistis menuju kedaulatan pangan.
Jika benar-benar digarap, Seram Bagian Timur bisa menjadi role model bahwa pangan lokal mampu naik kelas, berdiri sejajar dengan komoditas global, bahkan menjadi solusi krisis pangan dunia. Sagu bukan hanya warisan leluhur, tapi juga masa depan yang tengah menunggu untuk kita perjuangkan.