NEMUKABAR.COM – Komite Peduli Jakarta (KPJ) menyatakan siap menggelar aksi di depan Gedung DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk menolak rencana pembahasan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang memasukkan tempat hiburan malam sebagai bagian dari kawasan larangan merokok.
Koordinator Lapangan Aksi, Pendy, menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak logis dan terkesan terburu-buru. “Tempat hiburan malam tidak bisa disamakan dengan sekolah, rumah sakit, atau tempat ibadah. Menjadikannya Kawasan Tanpa Rokok adalah bentuk regulasi yang lemah secara nalar dan tidak berpihak pada realitas sosial,” ujarnya.
Menurut KPJ, ada sejumlah alasan kuat mengapa kebijakan ini harus ditolak:
1. Aspek hukum. Pasal 151 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memang mengatur KTR, tetapi implementasinya harus proporsional. Menyamakan ruang rekreasi dewasa dengan ruang pendidikan atau fasilitas kesehatan bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan.
2. Aspek sosial-ekonomi. Industri hiburan malam di Jakarta menyerap ribuan tenaga kerja dan memberi kontribusi pada PAD. Larangan total merokok berpotensi menurunkan jumlah pengunjung, menekan omzet, dan merugikan pekerja maupun daerah.
3. Aspek sosial. Larangan mutlak akan menciptakan konflik kepentingan baru antara pengusaha hiburan, pekerja, dan konsumen. Solusi yang lebih masuk akal adalah penyediaan ruang khusus merokok dengan standar ventilasi, bukan pelarangan total.
KPJ juga menyoroti proses legislasi yang tidak inklusif. Asosiasi pengusaha, akademisi, tokoh masyarakat, serta organisasi kepemudaan tidak dilibatkan dalam pembahasan, sehingga rancangan perda ini terkesan dipaksakan.
“DPRD seharusnya memfokuskan energi legislasi pada kebijakan yang lebih urgen dan langsung menyentuh kebutuhan masyarakat, seperti transportasi publik, pengendalian polusi, dan peningkatan layanan kesehatan. Bukan aturan yang membatasi secara tidak proporsional,” tambah Pendy.
Aksi massa KPJ di depan DPRD DKI ini akan membawa tuntutan agar pembahasan pasal terkait hiburan malam dalam Raperda KTR dihentikan, dilakukan kajian ulang berbasis akademik, serta dibuka ruang partisipasi publik yang inklusif.