NEMUKABAR.COM – Ketua PADHI Padepokan Hukum Indonesia Kalimantan Timur Siswansyah Mengkritik Keras Kebijakan Sri Mulyani Mentri Keuangan Negara.
Indonesia selalu bangga dengan jargon: pendidikan adalah investasi masa depan bangsa. Namun, dalam praktiknya, guru dan dosen kerap diperlakukan seolah-olah hanya angka dalam neraca APBN. Pernyataan Menkeu Sri Mulyani pada Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri 2025 di Bandung yang mempertanyakan apakah gaji guru dan dosen harus sepenuhnya ditanggung negara, membuka tabir: negara ini lebih cepat menyebut guru sebagai beban fiskal daripada menyebut mereka sebagai pilar peradaban.
1. Politik Anggaran dan Semantik yang Menyesatkan
Pernyataan itu memang tidak secara eksplisit berbunyi “guru adalah beban negara”. Tetapi cara mengemasnya menimbulkan kesan yang sama. Inilah yang disebut politik semantik: mengganti istilah “beban” dengan “tantangan fiskal”. Sama saja keduanya menempatkan guru dalam kategori cost center, bukan value creator.
Ironisnya, guru yang setiap hari berjibaku di kelas, digaji pas-pasan, justru dipertanyakan pembiayaannya. Padahal, negara tidak pernah risih menggelontorkan triliunan rupiah untuk proyek-proyek mercusuar atau penyelamatan korporasi yang “terlalu besar untuk gagal.”
2. Kontradiksi Konstitusional
Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa negara wajib membiayai pendidikan, dengan anggaran minimal 20% dari APBN. Jadi, ketika seorang Menteri Keuangan mempertanyakan “apakah semua biaya guru harus ditanggung negara?”, sejatinya ia sedang mempertanyakan konstitusi itu sendiri.
Apakah konstitusi juga dianggap beban fiskal? Jika iya, mungkin sudah saatnya APBN dibuat tanpa UUD, agar lebih efisien.
3. Guru: Pilar Bangsa yang Didegradasi
Guru bukan hanya pegawai yang digaji; mereka adalah arsitek peradaban. Tanpa mereka, tidak ada insinyur, dokter, politisi bahkan menteri keuangan. Tetapi, dalam kerangka fiskalisme kaku, guru diturunkan derajatnya menjadi pos belanja.
Jika logika ini diteruskan, mungkin kelak bayi yang lahir pun akan dihitung sebagai “beban APBN” karena memerlukan imunisasi. Kenapa tidak sekalian menyebut rakyat sebagai “cost” agar negara lebih ringan jalannya?
4. Perspektif Keadilan Sosial
Di pelosok negeri, banyak guru mengajar dengan gaji ratusan ribu rupiah per bulan. Ada yang harus menyebrangi sungai atau mendaki gunung hanya untuk memastikan anak-anak tetap belajar. Tetapi, di ruang rapat kementerian, mereka dibicarakan sebagai angka defisit.
Keadilan macam apa yang lebih mengutamakan tax holiday untuk investor asing ketimbang memastikan guru bisa makan layak?
5. Kesimpulan: Beban Siapa Sebenarnya?
Mari kita balik pertanyaan Sri Mulyani: apakah guru beban negara, atau justru negara yang selama ini menjadi beban bagi guru?
Negara yang gagal membayar layak tenaga pendidik, negara yang lebih sibuk menambal defisit dengan utang, negara yang tak pernah habis-habisnya membiayai birokrasi dan proyek politik.
Sarkasme ini sederhana: jika guru adalah beban, maka sebaiknya negara berhenti mengklaim diri sebagai “pelayan rakyat” dan jujur saja menjadi “manajer neraca keuangan”. Biarkan rakyat menyekolahkan anaknya sendiri, dengan biaya sendiri, di negeri yang konstitusinya hanya jadi hiasan dinding.